ResearchFree Expression Online

Tidak Ada Akses Penyensoran Situs LGBTIQ di Enam Negara

Executive Summary

“Ini seperti percakapan tak terucapkan antara kami dan pemerintah—kami menemukan jalan karena Internet sangat kreatif dalam mendistribusikan informasi. Mereka dapat memblokir, dan kita dapat menemukan media lain . . . tujuan kami adalah membuat informasi sedapat mungkin dijangkau—Internet begitu besar, sangat luas. Kami dapat menemukan opsi.”

— Abdel Al-Hadi, pendiri majalah online My.Kali

Overview

Ruang online sangat penting untuk mengidentifikasi informasi dan sumber daya dengan aman, membangun koneksi sosial, dan terlibat dalam advokasi hak dan pembangunan gerakan. Khususnya untuk populasi yang terpinggirkan, termasuk lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks, dan queer (LGBTIQ), kemampuan untuk terhubung secara virtual dan berkomunikasi dengan aman adalah penyelamat. Namun, penapisan konten yang disponsori negara sedang meningkat secara global, menargetkan aktivis LGBTIQ, pembela hak asasi manusia, jurnalis, dan pembangkang politik, di antara lainnya.

Penapisan konten online sering diterapkan bersamaan dengan pembatasan lain (misalnya, tuntutan hukum dan penangkapan sewenang-wenang) yang membatasi kebebasan sipil dan membatasi gerakan hak asasi manusia. Negara-negara yang terlibat dalam penapisan atau penyensoran melanggar norma dan prinsip hak asasi manusia internasional. Pada tahun 2018, Dewan Hak Asasi Manusia PBB (HRC) menegaskan “bahwa hak yang sama yang dimiliki orang secara offline juga harus dilindungi secara online, khususnya kebebasan berekspresi.”1 Selain itu, Pasal 19(3) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) menetapkan bahwa pembatasan kebebasan berekspresi hanya dapat terjadi dalam keadaan terbatas dan harus mematuhi prinsip-prinsip legalitas, legitimasi, dan keadaan terpaksa.2 Dari enam negara yang dikaji dalam laporan ini, Indonesia, Rusia, dan Iran telah meratifikasi ICCPR.3

Seiring dengan kemajuan teknologi digital, penyensoran situs online, bersama dengan upaya untuk menghindarinya, bersifat dinamis. Ini mengarah pada permainan kucing-dan-tikus yang gigih antara pemerintah dan pengguna, dimana keduanya berusaha untuk tetap berada di ‘depan’ yang lain. Pemerintah juga menerapkan cara-cara yang lebih canggih untuk membatasi kerja aktivis hak asasi di seluruh dunia, termasuk aktivis LGBTIQ, dengan menggunakan pemblokiran Internet, “pelambatan” bandwidth, pengawasan, dan cara lainnya.4

OutRight Action International, Citizen Lab di University of Toronto, and the Open Observatory of Network Interference (OONI) berkolaborasi untuk melakukan penelitian tentang penyensoran situs LGBTIQ dan dampaknya terhadap komunitas LGBTIQ. Laporan ini difokuskan pada negara-negara berikut: Indonesia, Malaysia, Iran, Rusia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA). Negara-negara ini dikenal memiliki lingkungan yang paling menantang untuk pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di dunia. Selain undang-undang yang represif, regulasi yang bersifat non-demokratis, dan kurangnya transparansi dan akuntabilitas, penyensoran online di yurisdiksi ini menghambat upaya masyarakat sipil yang berjuang untuk menciptakan masyarakat yang lebih setara dan adil. Selain itu, karena orang-orang LGBTIQ sering kali harus menghadapi stigma, serta kecaman dari masyarakat, agama, atau keluarga, penyensoran situs-situs LGBTIQ meningkatkan keterasingan mereka dan menghambat upaya untuk mempublikasikan pelanggaran dan penyalahgunaan hak. Meskipun demikian, individu-individu LGBTIQ terus maju dalam memperjuangkan kesetaraan dan memobilisasi orang lain di komunitas mereka meskipun menghadapi risiko denda, penyerangan, atau pemenjaraan..

Tujuan

Tujuan dari penelitian kami adalah sebagai berikut.

  1. Mendokumentasikan situs web LGBTIQ mana yang diblokir di enam negara;
  2. Menyelidiki bagaimana penyensoran situs LGBTIQ berdampak pada komunitas LGBTIQ lokal dan gerakan mereka untuk mengamankan keadilan dan kesetaraan; dan
  3. Menentukan bagaimana Penyedia Jasa Internet (ISP) lokal menerapkan pemblokiran situs web.

Metodologi

Kami menggunakan pendekatan “metode campuran” dalam penelitian kami, yang terdiri dari pengukuran jaringan melalui platform OONI, penelitian literatur, dan wawancara semi-terstruktur jarak jauh.

Pengukuran Jaringan: Kami menggunakan teknologi OONI untuk memeriksa sensor situs LGBTIQ di enam negara antara 1 Juni 2016 dan 31 Juli 2020. Disebut OONI Probe, perangkat lunak sumber terbuka dan gratis ini mengukur berbagai bentuk penyensoran Internet, termasuk pemblokiran situs. Kami mengumpulkan data dari uji Konektivitas Web OONI dan memeriksa kumpulan data ini untuk mengetahui contoh pemblokiran yang disengaja pada ISP komersial yang menghadap konsumen. Untuk setiap contoh pemblokiran yang disengaja diidentifikasi, kami membuat anotasi yang dapat digunakan melalui proses berulang untuk mengidentifikasi contoh pemblokiran lebih lanjut menggunakan metode yang sama. Produk akhirnya adalah kumpulan URL yang diidentifikasi sebagai diblokir di enam negara dalam riset kami.

Penelitian Literatur: Kami melakukan tinjauan literatur yang mencakup setiap negara. Artikel peer-reviewed, laporan hak asasi manusia, reportase media, dan laporan dari berbagai organisasi menginformasikan studi kasus di enam negara.

Wawancara: Dua pewawancara melakukan total lima belas wawancara semi-terstruktur dengan informan kunci dari, atau dengan keahlian di, masing-masing dari enam negara. Melalui wawancara ini, kami mengidentifikasi tantangan dalam mengakses informasi terkait LGBTIQ online, pendekatan umum untuk menghindari sensor, dan dampak penyensoran situs web terhadap hak LGBTIQ dan pembangunan gerakan.

Keterbatasan

Studi ini tidak serta merta mencerminkan sepenuhnya situs web LGBTIQ yang di sensor oleh masing-masing negara ini, tetapi memberikan indikasi penyensoran situs web LGBTIQ berdasarkan pengukuran OONI yang tersedia. Ini dikarenakan jumlah dan jenis situs web LGBTIQ yang diuji di setiap negara bervariasi selama periode analisis kami. Selain itu, karena temuan pengukuran kami bergantung pada tes OONI Probe yang dijalankan oleh sukarelawan lokal, perbedaan terjadi bukan hanya dalam cakupan pengujian di seluruh jaringan di dalam negara, tetapi juga di seluruh negara.

Negara yang berbeda memiliki pasar ISP yang berbeda dengan jumlah ASN terdaftar yang beragam, sementara ISP di setiap negara menerapkan penyensoran Internet dengan cara yang berbeda untuk mematuhi undang-undang dan peraturan yang berbeda. Upaya telah dilakukan untuk memastikan daftar pengujian yang digunakan dalam penelitian ini cukup komprehensif. Meskipun demikian, mungkin ada kesenjangan dalam hal topik yang tidak tercakup dalam daftar, dan karena itu tidak terlihat dalam hasil. Untuk detail lebih lanjut tentang batasan ini, harap tinjau bagian “Keterbatasan” di lampiran Metodologi.

Temuan Keseluruhan Utama

Di bawah ini adalah beberapa temuan lintas sektor dari penelitian kami:

  • Penyensoran diri (self-censorship) adalah hal biasa, terutama di mana tindakan hukuman terhadap komunitas LGBTIQ (misalnya, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang) semakin intensif. Tindakan hukuman seperti itu sering dilakukan atas nama menjaga keamanan nasional, melindungi anak-anak atau anak di bawah umur, atau melestarikan norma dan nilai tradisional atau agama.
  • Di keenam negara tersebut, konten terkait LGBTIQ juga dapat disalahartikan sebagai pornografi dan oleh karena itu di sensor menurut undang-undang yang melarang konten tersebut. Akibatnya, pengguna Internet dengan hati-hati menghindari penerbitan atau mengakses informasi yang dapat dianggap melanggar undang-undang ini, yang berkontribusi pada penyensoran sendiri.
  • Pengguna LGBTIQ di setidaknya tiga dari enam negara berisiko dijebak secara online oleh otoritas lokal atau aktor jahat lainnya. Anggota penegak hukum di Iran, Rusia, dan Arab Saudi telah menyamar sebagai gay atau transgender di situs online untuk menjebak individu LGBTIQ yang menempatkan mereka pada risiko penangkapan, eksploitasi, dan ancaman kekerasan. Kehadiran aplikasi LGBTIQ di ponsel pengguna juga digunakan sebagai alasan intimidasi dan penuntutan.
  • Ancaman online mengakibatkan aktivis LGBTIQ harus terus mendidik diri mereka sendiri tentang metode baru dan aman untuk berkomunikasi secara online dan menghindari sensor. Selain itu, para aktivis harus belajar tentang bagaimana teknologi saat ini dan yang baru muncul dapat membantu atau merugikan mereka. Hal ini sulit dilakukan di mana akses informasi sudah menantang, seperti di daerah terpencil atau pedesaan.
  • Penyensoran situs LGBTIQ tidak serta merta berkorelasi dengan kriminalisasi terhadap homoseksualitas, tetapi terkait dengan upaya untuk membatasi hak asasi manusia yang mendasar untuk orang-orang LGBTIQ. Indonesia maupun Rusia tidak mengkriminalisasi homoseksualitas, namun di kedua negara tersebut, penyensoran yang menargetkan konten online LGBTIQ sangat signifikan karena undang-undang yang membatasi “propaganda anti-gay” dan pembatasan terhadap konten “cabul”. Di Malaysia, Iran, Arab Saudi, dan UEA, undang-undang yang mengkriminalisasi homoseksualitas telah digunakan untuk membenarkan penyensoran.
  • Ada perbedaan dalam hal situs web lokal dan internasional yang ditemukan diblokir. Di Malaysia dan Indonesia, semua situs web LGBTIQ lokal yang diuji dapat diakses, sedangkan situs web LGBTIQ internasional diblokir. Iran, Rusia, Arab Saudi, dan UEA memblokir akses ke situs LGBTIQ lokal, regional, dan internasional.
  • ISP di enam negara melayani halaman blokir yang memberi tahu pengguna bahwa situs web disensor. Namun, sarana teknis yang digunakan ISP untuk melayani halaman pemblokiran berbeda-beda di setiap negara dan dalam beberapa kasus, juga berbeda di antara ISP di negara yang sama. ISP di Indonesia dan Malaysia menggunakan pembajakan DNS, ISP Iran terutama menggunakan injeksi DNS, ISP Rusia terutama menggunakan proxy transparan HTTP (meskipun beberapa juga menggunakan pembajakan DNS), ISP Arab Saudi menggunakan proxy transparan, dan ISP di UEA menggunakan injeksi HTTP atau transparan Proxy HTTP menggunakan Netsweeper, tergantung pada konfigurasi.
  • Upaya pemerintah untuk memblokir akses ke konten online memerlukan dukungan dari pelaku sektor swasta. Karena perusahaan swasta memiliki dan mengoperasikan banyak bagian Internet yang berbeda, dari infrastruktur fisik hingga platform, kerja sama mereka diperlukan untuk menerapkan kontrol online. Di Arab Saudi dan UEA, ISP memblokir situs web menggunakan WireFilter, perusahaan yang berbasis di Riyadh, sedangkan di UEA, ISP menggunakan Netsweeper, perusahaan Kanada.
  • Di empat dari enam negara, situs web LGBTIQ yang paling sering diblokir adalah yang ditujukan terutama untuk kategori “Budaya”. Kategori ini terdiri dari situs web yang bertujuan untuk membangun komunitas (misalnya dengan topik olahraga, Pride, atau blog pribadi) dan memberikan informasi tentang seni dan budaya. Sebagian besar URL dalam daftar pengujian kami termasuk dalam kategori “Budaya”, yang berkontribusi pada representasi yang lebih tinggi dalam hasil kami.
  • Konsistensi pemblokiran tertinggi ditemukan di Arab Saudi, di mana sebagian besar URL LGBTIQ ditemukan diblokir lebih dari 75 persen dari waktu pengujian, tetapi pemblokiran tampaknya tidak konsisten. Kami mengamati ketidakkonsistenan dimana situs web diblokir (atau tidak) di seluruh negara dan, dalam beberapa kasus, oleh ISP yang berbeda di negara yang sama.
  • Jumlah tertinggi URL LGBTIQ yang ditemukan diblokir berada di Iran. Secara total, tujuh puluh lima URL unik LGBTIQ terdeteksi sebagai diblokir di negara tersebut, diikuti oleh UEA di mana lima puluh satu URL unik LGBTIQ ditemukan diblokir. Iran tampaknya memiliki perangkat sensor yang seragam, karena sebagian besar ISP tidak hanya memblokir situs web yang sama, tetapi juga menggunakan serangkaian teknik penyensoran yang sama.
  • Rusia memiliki jumlah jaringan tertinggi yang memblokir URL LGBTIQ. Kami mendeteksi pemblokiran situs web LGBTIQ di 172 jaringan Autonomous System (AS) yang berbeda. Iran memiliki prevalensi pemblokiran tertinggi kedua, dengan situs web LGBTIQ diblokir di delapan puluh empat jaringan AS. Di Indonesia, situs web LGBTIQ diblokir di empat puluh tiga jaringan AS, sedangkan di UEA, situs web LGBTIQ ditemukan diblokir hanya di tiga jaringan AS. Hasil ini mungkin mencerminkan keragaman pasar ISP masing-masing negara karena beberapa negara ini memiliki pasar ISP yang lebih besar dan lebih beragam (dan karenanya memiliki lebih banyak jaringan AS) daripada yang lain.

Ringkasan temuan teknis

Temuan teknis kami, bersama dengan informasi tentang kriminalisasi kegiatan terkait LGBTIQ, dirangkum untuk setiap negara dalam tabel berikut (Tabel 1).

Indonesia Malaysia Iran Rusia Arab Saudi UEA
Criminalization of homosexuality Tidak Iya Iya Tidak Iya Iya
Undang-undang yang digunakan untuk membatasi hak asasi manusia LGBTIQ (misalnya, apa yang disebut undang-undang propaganda anti-gay, undang-undang pornografi, undang-undang anti-cross-dressing) Iya Iya Iya Iya Iya Iya
Jumlah URL LGBTIQ Unik yang diblokir 38 6 75 32 26 51
Situs LGBTIQ internasional diblokir Iya Iya Iya Iya Iya Iya
Situs LGBTIQ lokal/regional diblokir Tidak Tidak Iya Iya Iya Iya
Jumlah jaringan AS dimana penyensoran LGBTIQ terdeteksi 43/97

(44.33%)

8/41

(19.51%)

84/104

(80.77%)

172/1012

(17.00%)

12/23

(52.17%)

3/12

(25.00%)

ISP yang terdeteksi memblokir situs LGBTIQ

terbanyak

*Telekomunikasi Indonesia (Telkom) Telekom Malaysia (TM Net) Shatel *MGTS *Saudi Telecom (STC) *Du
Bagaimana halaman pemblokiran terutama disampaikan pembajakan DNS pembajakan DNS Injeksi DNS Proxy transparan HTTP Alat WireFilter Alat WireFilter & Netsweeper
Jumlah anotasi pemblokiran 84 4 6 148 2 9
Persentase rata-rata konsistensi pemblokiran > 50 persen > 50 persen > 50 persen < 2 persen > 75 persen ~ 25 persen
Teknologi penyensoran yang terdeteksi digunakan Tidak Tidak Tidak Tidak WireFilter WireFilter, Netsweeper
Temuan lainnya Ada perbedaan dalam pemblokiran situs LGBTIQ di seluruh jaringan ISP Indonesia Potensi “kebocoran sensor” dari Indonesia (melibatkan lima belas URL unik lainnya) Aparat penyensoran terpusat dan seragam Iklan ditayangkan di beberapa halaman pemblokiran Semua ISP di Arab Saudi secara konsisten menerapkan sensor Internet dengan cara yang sama Banyak situs web LGBTIQ yang diblokir saat ini tidak beroperasi

Table 1: What is Blocked and Where

*Menunjukkan kepemilikan negara (mayoritas atau total) dari ISP tersebut.

Tabel 1 merangkum temuan teknis laporan ini dan memberikan informasi tentang kriminalisasi atau pelonggaran kegiatan terkait LGBTIQ di masing-masing dari enam negara kepentingan.

Key Findings by Country

Indonesia

“Jadi, pada akhirnya, kita perlu menyensor diri kita sendiri. Penyensoran diri sekarang menjadi kebiasaan kami untuk menyimpan beberapa informasi di ‘atas meja’. . . kami tidak memposting gambar. Itulah strategi yang kami praktikkan dalam kehidupan sehari-hari untuk menjaga informasi di ruang digital dan online.”— Lini Zurlia, ASEAN SOGIE Kaukus
  • Tumbuhnya pengaruh Islam konservatif di Indonesia dan penerapan undang-undang yang menargetkan pornografi mengakibatkan konten Internet LGBTIQ secara rutin, meskipun tidak konsisten, diblokir atau disensor.
  • Secara total, kami menemukan bahwa tiga puluh delapan URL unik LGBTIQ diblokir setidaknya satu kali selama pengujian kami di Indonesia. URL yang diblokir mencakup situs web yang menciptakan rasa komunitas (mis., Peta Transgender), melakukan advokasi (mis., Asosiasi Lesbian, Gay, Biseksual, Trans dan Interseks Internasional (ILGA) Internasional), dan menyediakan layanan kencan (mis., Grindr).
  • Tak satu pun dari situs web LGBTIQ yang ditemukan diblokir di Indonesia berbahasa Indonesia atau tampaknya ditujukan untuk audiens khusus Indonesia.
  • Tingkat pemblokiran situs LGBTIQ bervariasi di seluruh ISP Indonesia. Blok terbanyak terpantau di Telekomunikasi Indonesia (Telkom), yang merupakan ISP terbesar di Indonesia dan mayoritas dimiliki oleh pemerintah Indonesia, disusul oleh Indosat Ooredoo (Indosat), sebuah perusahaan swasta.
  • Dengan adanya rezim penyensoran di Indonesia, para aktivis dan komunitas LGBTIQ harus menyusun strategi pengelakan dan mensensor diri sendiri serta meningkatkan ketergantungan mereka pada media sosial.

Malaysia

“Pengorganisasian LGBT dipengaruhi oleh penyensoran karena setiap kali sebuah acara/forum diselenggarakan, selalu ada ancaman penyusupan/penyerbuan, meskipun ini tidak menghentikan LGBT untuk mendorong kembali dan membangun gerakan menggunakan ruang online. Misalnya melakukan pengorganisasian melalui hashtag – #CampurLGBT (“#MixLGBT”) telah efektif dalam mempromosikan inklusivitas dan melawan #TolakLGBT (“#RejectLGBT”)”— Thilaga, Aktivis Queer dan anggota pendiri kelompok advokasi Justice for Sisters
  • Ekosistem Internet Malaysia adalah salah satu yang paling ‘hidup’ di kawasan Asia Tenggara, tetapi pengaruh Islam konservatif yang terus berlanjut telah menyebabkan penolakan terus-menerus terhadap hak-hak LGBTIQ.
  • Pasal 233 dari Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia tahun 1998 telah digunakan untuk memblokir situs web LGBTIQ. Selain Pasal 377A KUHP yang mengkriminalisasi sodomi, hukum Syariah telah digunakan secara sewenang-wenang untuk menargetkan individu LGBTIQ.
  • Sebanyak dua puluh satu URL unik yang relevan dengan komunitas LGBTIQ ditemukan diblokir melalui pengujian kami. Namun, tampaknya banyak URL yang diblokir sebagai akibat dari beberapa bentuk “kebocoran sensor” dari Indonesia. Lalu, salah satu pakar dalam negeri yang kami wawancara menyarankan bahwa semakin banyak visibilitas konten LGBTIQ yang diterima, semakin besar kemungkinan pihak berwenang menyensornya.
  • Setidaknya dua situs web yang relevan dengan komunitas LGBTIQ diblokir secara konsisten (mis., Gay Star News dan Planet Romeo). Namun, situs web yang menargetkan pemirsa domestik, seperti Queer Lapis dan Justice for Sisters, tetap dapat diakses di Malaysia.
  • Karena situs web memerlukan banyak waktu dan sumber daya, orang dan organisasi LGBTIQ di Malaysia biasanya menggunakan aplikasi, yaitu Telegram dan WhatsApp, untuk terhubung dengan satu sama lain, membuat organisasi atau gerakan, dan berbagi konten khusus dengan bahasa lokal.

Rusia

“Saya percaya bahwa sejak awal ketika undang-undang propaganda [anti-gay] ini diadopsi, tujuan utamanya adalah untuk membungkam diskusi publik tentang komunitas LGBT, atau hak-hak LGBT, atau pelanggaran hak-hak LGBT. Pada dasarnya semua sensor ini telah menciptakan suasana ketakutan, dan [rasa ketakutan ini] menyangkut semua bidang sosial.”— “SZ”, Aktivis LGBTIQ Rusia
  • Sensor yang disponsori negara yang menargetkan atau memengaruhi populasi LGBTIQ sebagian besar didorong oleh undang-undang terkenal yang dikenal sebagai undang-undang “propaganda anti-gay”, yang dimaksudkan untuk melindungi anak di bawah umur dan apa yang disebut “keluarga tradisional.” Klaim pornografi sering digunakan untuk menindak setiap media yang mengandung konten LGBTIQ.
  • Menanggapi meningkatnya penganiayaan (misalnya, di Chechnya), banyak organisasi LGBTIQ terpaksa ditutup, membatasi kehadiran online mereka, atau mempraktikkan sensor diri. Kecemasan atas keselamatan pribadi telah mengakibatkan orang-orang LGBTIQ tetap diam dalam menghadapi serangan yang meluas.
  • Keterampilan literasi digital diidentifikasi sebagai salah satu keterampilan penting yang dibutuhkan oleh individu LGBTIQ untuk tetap aman di Rusia (misalnya, untuk menjaga anonimitas seseorang secara online, menghapus pesan dan riwayat pencarian, dan menggunakan aplikasi pesan terenkripsi). Kebutuhan paling mendesak adalah mereka yang tinggal di daerah terpencil di mana serangan terhadap individu LGBTIQ semakin meningkat.
  • Tiga puluh dua URL unik terkait LGBTIQ diblokir di Rusia. Banyak dari URL ini termasuk situs media berita, budaya, dan hak asasi manusia. Namun, sebagian besar situs web ditemukan diblokir kurang dari dua persen kali pengujian, sementara hanya `bluesystem.ru` dan `deti-404.com` menyajikan pemblokiran lebih dari 70 persen kali pengujian.
  • ISP di Rusia menerapkan metode sensor yang standar. Sebagian besar ISP di Rusia memblokir URL terkait LGBTIQ melalui penggunaan proxy transparan HTTP, sementara sejumlah kecil ISP melayani halaman pemblokiran melalui pembajakan DNS.

Iran

“Karena penyensoran, ada kesenjangan besar dalam pendidikan di [dalam hal orientasi seksual dan identitas dan ekspresi gender]. Ketika mereka berpikir mereka ‘berbeda,’ mereka sampai pada gagasan bahwa mereka adalah “trans” meskipun [sebenarnya] mereka adalah homoseksual. Banyak keluarga [juga] tidak memiliki informasi cukup tentang cara mendukung atau cara bereaksi [terhadap individu LGBT]. Kurangnya informasi juga berdampak pada perawatan kesehatan [orang] LGBT.”— Shadi Amin, Direktur 6rang, jaringan Lesbian dan Transgender Iran
  • Sistem norma-norma sosial, agama, dan hukum yang ditegakkan secara ketat oleh pemerintah yang didefinisikan oleh yurisprudensi Syiah telah berkontribusi pada pelanggaran hak asasi manusia terhadap individu-individu LGBTIQ. Ketiadaan pendidikan tentang gender dan seksualitas di Iran mengakibatkan kesenjangan pengetahuan masyarakat tentang orientasi seksual, identitas dan ekspresi gender.
  • Individu LGBTIQ banyak yang telah ditargetkan melalui Internet dalam bentuk pengawasan dan pelecehan, terutama sejak disahkannya Undang-Undang Kejahatan Komputer, yang secara signifikan memperluas kekuasaan pengawasan dan penyensoran negara. Jebakan melalui aplikasi kencan juga terjadi terus-menerus.
  • Tujuh puluh lima URL unik terkait LGBTIQ ditemukan diblokir di Iran. URL yang diblokir di Iran mencakup banyak situs web hak asasi manusia, budaya, dan berita yang mencakup topik terkait LGBTIQ. Banyak platform blog juga diblokir; oleh karena itu, blog yang membahas topik LGBTIQ yang dihosting di platform ini juga tidak dapat diakses.
  • Sensor Internet di Iran dapat dianggap maju dan tidak menentu. Bisa dianggap maju karena ISP di Iran kerap menggunakan teknologi Deep Packet Inspection (DPI) dan umumnya menerapkan pemfilteran berbasis SNI (Server Name Indication). ISP Iran juga mulai memblokir “DNS over TLS” (atau DoT). Penyensoran di Iran juga bisa dianggap tidak menentu karena ISP bergantian antara memblokir dan membuka akses ke situs dari waktu ke waktu, yang dapat membuat sensor Internet lebih halus dan lebih sulit untuk dideteksi.
  • Penyensoran yang meluas di Iran telah merusak kemampuan kelompok LGBTIQ untuk berorganisasi dan mengadvokasi hak asasi manusia, serta mengakses informasi penting tentang kesehatan dan kesejahteraan. Dorongan untuk membangun Internet nasional (Jaringan Informasi Nasional) dan mengadopsi aplikasi perpesanan nasional (misalnya, Soroush dan Bale) diproyeksikan akan semakin membatasi kebebasan online.

Arab Saudi

“[Penyensoran situs LGBTIQ] menantang kemampuan orang untuk menemukan informasi—untuk menghubungi [individu LGBTIQ lainnya] dan terhubung, dan untuk meminta bantuan . . . [Penyensoran ini] juga mengirim pesan dari pemerintah bahwa [menjadi LGBTIQ] masih tabu, masih salah…Sebaliknya, [pemerintah] ingin Anda tidak sadar, tidak berpendidikan. [Pemerintah] tidak ingin Anda tahu tentang hak Anda atau tubuh Anda atau seksualitas Anda.”— Pakar keamanan digital di kawasan ini
  • Penyensoran situs LGBTIQ di Arab Saudi diimplementasikan bersamaan dengan banyak pelanggaran hak asasi lainnya. Homoseksualitas dan ekspresi gender non-normatif, misalnya, dikriminalisasi di negara ini.
  • Self-censorship adalah hal biasa di kalangan komunitas LGBTIQ di Arab Saudi karena ancaman pelecehan, intimidasi, dan penangkapan. Serangan terhadap individu LGBTIQ sering dilakukan oleh mereka yang berafiliasi dengan kelas penguasa dan oleh anggota masyarakat Saudi yang konservatif.
  • Advokat dan individu LGBTIQ harus berada dan bekerja secara diam-diam di negara ini untuk menghindari penuntutan. Jebakan, terutama melalui aplikasi kencan, tetap menjadi risiko serius.
  • Dua puluh enam URL unik terkait LGBTIQ ditemukan diblokir di Arab Saudi. Sebagian besar termasuk situs LGBTIQ yang relevan secara internasional, meskipun beberapa situs LGBTIQ lokal juga terlihat diblokir.
  • Semua ISP di Arab Saudi secara konsisten menerapkan penyensoran Internet dengan cara yang sama, terlepas dari ISP. Blokir halaman yang dilayani oleh ISP di Arab Saudi berisi tag “Server: Wirefilter” sebagai tanggapan, menunjukkan bahwa penapisan konten diterapkan melalui penggunaan WireFilter, alat pemfilteran Internet Saudi.

Uni Emirat Arab

“Tidak mudah [bagi orang-orang LGBTIQ] untuk berkomunikasi—untuk saling menemukan [satu sama lain], bekerja sama, [dan] berkoordinasi. Dan semua ini karena penyensoran [konten].”— Pakar keamanan digital di kawasan ini
  • Uni Emirat Arab (UEA) telah disebut sebagai “salah satu negara paling liberal di Teluk,” meskipun partai politik dilarang dan penduduknya memiliki kebebasan sipil yang terbatas. Laporan PBB 2018 mencatat berbagai pelanggaran hak, termasuk pemenjaraan dan pengadilan bagi mereka yang mengkritik lembaga pemerintah, serta penggunaan penyiksaan terhadap tahanan, diskriminasi terhadap perempuan, dan kurangnya perlindungan bagi pekerja asing.
  • Meskipun ada beberapa variasi di berbagai emirat, UEA membatasi kebebasan berekspresi online dengan memblokir konten yang dianggap dilarang oleh hukum Syariah, dianggap sebagai penistaan, menyinggung atau bertentangan dengan keyakinan Islam, dan/atau dianggap liberal, sekuler, dan ateistik.
  • Karena lingkungan online UEA yang sangat terkontrol, penyensoran diri adalah hal biasa. Lebih lanjut, orang-orang yang kami wawancarai menunjukkan bahwa banyak di dalam komunitas LGBTIQ percaya bahwa mereka sedang diawasi oleh pemerintah.
  • Lima puluh satu URL unik terkait LGBTIQ ditemukan diblokir di UEA. Sangat sedikit situs web lokal yang membahas topik LGBTIQ yang ada di UEA. Oleh karena itu, komunitas LGBTIQ lokal bergantung pada situs web LGBTIQ asing untuk mengakses informasi yang relevan, tetapi banyak di antaranya yang diblokir.
  • Kami mendeteksi penggunaan teknologi pemfilteran untuk memblokir situs web di UEA, termasuk teknologi WireFilter dari Arab Saudi dan Netsweeper dari Kanada.

Rekomendasi dari OutRight Action International

Enam negara yang ditampilkan dalam laporan kami mewakili berbagai realitas sosial budaya, agama, hukum, politik, dan teknologi. Kapasitas, akses, dan regulasi Internet juga bervariasi dari satu negara ke negara lain. Oleh karena itu, rekomendasi-rekomendasi berikut ini tidak selalu berlaku untuk semua negara, melainkan dimaksudkan sebagai sarana advokasi yang luas, yang perlu disesuaikan lebih lanjut sesuai dengan konteks dan nuansa nasional.

Untuk badan PBB, LSM internasional, dan partner donor

  • Mendokumentasikan dan mempublikasikan penyensoran Internet di tempat terjadinya hal tersebut, menunjukkan bagaimana dan di mana penyensoran tersebut secara langsung melanggar standar, undang-undang, dan perjanjian internasional seperti resolusi Dewan Hak Asasi Manusia 2018 tentang “promosi, perlindungan, dan penikmatan hak asasi manusia di Internet,” dan Pasal 19(3) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
  • Memberikan dukungan kepada organisasi hak asasi manusia LGBTIQ nasional dan regional untuk memastikan bahwa mereka memiliki sumber daya cukup dan dilengkapi secara teknis untuk melakukan pendidikan dan pelatihan keselamatan dan keamanan holistik reguler, untuk memberikan informasi terkini tentang teknologi baru dan langkah-langkah keamanan dan keselamatan digital yang direkomendasikan, untuk memperkuat langkah-langkah keamanan pribadi, dan untuk melindungi kesejahteraan emosional dan psikologis.
  • >Melakukan konsultasi dengan pembela hak asasi manusia LGBTIQ nasional tentang pendekatan lain yang sesuai untuk mengurangi dampak penyensoran konten LGBTIQ. Termasuk memberikan dukungan untuk kampanye media sosial, program untuk meningkatkan akses ke layanan kesehatan dan kesehatan mental dan informasi atau dukungan hukum.
  • Dalam konsultasi dengan aktivis nasional, tentukan kapan dan bagaimana untuk mengadakan upaya regional dan internasional untuk meningkatkan kesadaran tentang sifat, luas, dan dampak penyensoran yang menargetkan konten, organisasi, dan individu terkait LGBTIQ di negara tertentu.
  • Dalam konsultasi dengan aktivis nasional, menuntut agar pemerintah yang terlibat dalam penyensoran bersikap transparan tentang alasan dan pemilihan serta durasi situs yang disensor dan apakah ada maksud untuk mengurangi atau menghilangkan penyensoran.

Untuk pihak swasta

  • Perusahaan yang mengembangkan dan memproduksi teknologi penapisan Internet harus menilai dan meminimalkan dampak penggunaan teknologi mereka pada pembela hak asasi manusia, termasuk organisasi dan individu LGBTIQ, sebagai bagian dari kepatuhan terhadap kerangka kerja internasional seperti Prinsip Panduan tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia yang didukung oleh Dewan HAM PBB.
  • Membuat teknologi circumvention (pengelakkan sensor) atau keamanan digital lainnya tersedia secara online untuk semua pembela hak asasi manusia, termasuk organisasi hak asasi manusia LGBTIQ dengan biaya rendah atau tanpa biaya untuk mendukung upaya advokasi hak asasi manusia mereka.
  • Menyediakan kit/alat pelatihan mandiri secara online tentang penggunaan teknologi digital yang muncul yang memungkinkan pengelakan penyensoran dan mendidik individu tentang cara tetap aman saat online.

Untuk pemerintah dan pembuat kebijakan

  • Meminta pertanggungjawaban perusahaan sektor swasta yang beroperasi dari yurisdiksi mereka terhadap kerangka kerja internasional seperti Prinsip-Prinsip Panduan tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia.
  • Mempromosikan dan membela hak atas akses internet yang bebas dan tanpa sensor di ruang internasional sebagai bagian dari hak asasi manusia dan kebebasan sipil mendasar yang digariskan dalam resolusi dan perjanjian hak asasi manusia, termasuk hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak atas kebebasan berserikat, dan hak privasi di era digital, antara lain.
  • Jika terlibat dalam penyensoran, bersikaplah transparan tentang alasan dan pemilihan serta durasi situs yang disensor dan kapan atau apakah ada maksud agar penyensoran situs akan dikurangi atau dihilangkan.

Untuk aktivis LGBTIQ dan anggota komunitas LGBTIQ

  • Gunakan alat penjelajahan dan berbagi yang aman dan anonim, seperti Virtual Private Networks (VPN), Tor Browser, dan OnionShare.
  • Lakukan penilaian keamanan dan keselamatan digital secara berkala untuk mengidentifikasi potensi pelanggaran keamanan digital baru dengan cepat dan meminimalkan ancaman terhadap aktivis dan anggota komunitas LGBTIQ.
  • Sertakan dalam proposal pendanaan sejumlah anggaran untuk pelatihan keselamatan dan keamanan digital dan opsi/alat untuk menghindari penyensoran (seperti VPN).
  • Carilah dukungan dan pelatihan dari para ahli yang berfokus pada keselamatan dan keamanan holistik, termasuk keselamatan dan keamanan digital untuk pembela hak asasi manusia, seperti Frontline Defenders, the Tor Project, Digital Defenders Partnership, dan pakar lainnya.
  • Memainkan peran pengawas dalam memantau dan mengekspos perusahaan yang menjual teknik dan alat penyensoran kepada pemerintah untuk tujuan penyensoran Internet, dan menyoroti norma dan standar internasional yang dilanggar.
  • Melalui kemitraan dan aliansi yang aman dan sesuai kebutuhan, dokumentasikan sensor yang disponsori negara dan tunjukkan pelanggaran norma dan standar hak asasi manusia internasional di tingkat nasional, regional, dan global.

  1. UN Human Rights Council, The Promotion, Protection and Enjoyment of Human Rights on the Internet, A/HRC/38/L.10/Rev.1, (July 6, 2018), https://documents-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/G18/215/67/pdf/G1821567.pdf?OpenElement.↩︎
  2. International Covenant on Social and Political Rights, December 16, 1966, U.N.T.S. 999, https://www.ohchr.org/en/professionalinterest/pages/ccpr.aspx.↩︎
  3. International Covenant on Civil and Political Rights, March 23, 1966, U.N.T.S. 14668, https://treaties.un.org/pages/ViewDetails.aspx?src=TREATY&mtdsg_no=IV-4&chapter=4&clang=_en.↩︎
  4. Mozilla defines network throttling as “an intentional slowing down of internet speed. In web performance, network throttling, or network condition emulation, it is used to emulate low bandwidth conditions experienced by likely a large segment of a site’s target user base.” See: “Network Throttling – MDN Web Docs Glossary: Definitions of Web-Related Terms,” MDN, accessed April 20, 2021, https://developer.mozilla.org/en-US/docs/Glossary/Network_throttling.↩︎