Memonitor Pengontrolan Informasi Saat Konferensi IGF di Bali

Pembukaan   

Pada tanggal 22-25 Oktober 2013, Indonesia menjadi tuan rumah dari acara Internet Governance Forum (IGF) tahunan yang kedelapan, forum ini diselenggarakan untuk terjalinnya dialog multistakeholder (pemangku kepentingan majemuk) mengenai berbagai topik dan kebijakan menyangkut tata kelola Internet. Tema utama IGF tahun ini adalah “Building Bridges: Enhancing Multi-stakeholder Cooperation for Growth and Sustainable Development” (“Membangun dan Meningkatkan Kerja Sama diantara berbagai stakeholder Pemangku Kepentingan Majemuk untuk mendorong Pertumbuhan and Pembangunan yang Berkelanjutan”).

Informasi ini adalah yang pertama dari beberapa seri yang akan membahas topik tentang kebebasan berpendapat di Internet dan kondisi dari pengontrolan informasi di Indonesia dalam konteks sebagai tuan rumah IGF, membandingkan pengontrolan informasi di Indonesia dengan beberapa negara lain lainnya seperti Asia Tenggara dan negara-negara lainnya di seluruh dunia, dan acara-acara yang mirip dengan IGF. Kami juga akan menganalisis bagaimana praktek pengontrolan informasi tersebut dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik dan budaya di Indonesia, dan peran dan pengaruh instrumen hukum internasional dalam mengatur pengontrolan informasi.

Seminar internasional di suatu negara sering menjadi titik fokal terjadinya dan adanya kontestasi dari pengontrolan informasi, termasuk pemberlakuan sensor dan pengawasan Internet, gangguan terhadap sistem komunikasi seluler dan lainnya, dan gangguan terhadap konektivitas Internet Pengontrolan informasi seperti ini seringnya sangat dinamis, merespon terhadap berubahnya situasi di lapangan ketika arus informasi akan mengakibatkan dampak yang besar pada masyarakat. Kami menyebut metode ini sebagai pengontrolan informasi “just- in-time” yaitu menolak, mengganggu, memanipulasi atau mengawasi akses informasi pada saat-saat yang penting secara politik.1 Acara-acara yang high profile dan bersifat global dapat memiliki dampak politik, ekonomi dan sosial yang besar untuk tuan rumah, dan membuka pintu akan adanya pengaturan keamanan dan pengawasan yang baru.2

Beberapa staf Citizen Lab yang hadir dalam IGF akan berpartisipasi dalam penelitian ini saat acara berlangsung, termasuk mereka yang memang tinggal di Indonesia dan memainkan peran sebagai pemangku kepentingan masyarakat sipil (civil society) dalam IGF. Selain itu, kami juga akan memberikan rekomendasi yang berasal dari para kolega di Indonesia, termasuk mereka yang menjadi bagian dari Cyber Stewards Network,3 untuk memberikan paparan tentang kondisi yang terjadi di Indonesia sebagai hasil analisis mereka yang akan kami paparkan disini. Kami juga menyadari bahwa ada banyak pihak lainnya yang turut hadir dalam IGF dan mengadakan aktivitas monitoring mereka sendiri, dan akan menggunakan hasil dari penelitian mereka sebagai bahan referensi . Para staf Citizen Lab yang bekerja secara remote (jarak jauh) akan memberikan input dan dukungan terhadap penelitian kami disertai analisis hukum dan rekomendasi mengenai arah kebijakan tentang tata kelola internet.

Kami menyusun analisis dengan topik-topik dan pertanyaan-pertanyaan di bawah ini, yang kemudian akan di gabungkan menjadi suatu informasi dalam bentuk blog berseri.

Infrastruktur dan Tata Kelola

Penerapan dari pengontrolan informasi di suatu negara sangat dipengaruhi oleh kondisi politik, ekonomi dan sosial di negara itu sendiri. Masing-Masing negara memiliki infrastruktur komunikasi yang unik, yang dibedakan dengan faktor-faktor seperti jumlah penyedia jasa Internet (Internet Service Providers (ISP)), perusahaan telekomunikasi, seberapa jauh terciptanya kompetisi di antara mereka, dan tingkat penetrasi dan pertumbuhan akses Internet. Di beberapa negara dengan banyak jumlah ISP dan terciptanya suatu kompetisi di antara mereka dapat mengakibatkan lebih sulit pengontrolan informasi oleh Pemerintah, sedangkan di negara lain yang jumlah ISP yang tidak banyak dan rezim yang kurang demokratis, maka pengaturan oleh pemerintah dapat lebih diterapkan secara terpusat dengan mekanisme pengaturan yang lebih ketat. Konektivitas internasional dan pengaturan interkoneksi upstream oleh para penyedia jasa Internet dapat mempengaruhi mekanisme pengontrolan informasi, dan apakah negara tersebut menjadi bagian dari blok regional dan internasional tertentu. Dan, yang paling penting, sistem ketatanegaraan suatu negara itu sendiri sangat mempengaruhi bentuk pengontrolan informasi yang diterapkan.

Pemerintah Indonesia pada umumnya mendukung perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Penetrasi Internet telah meningkat (XLS) sejak awal abad ini, dari kurang dari satu persen pada tahun 2000 menjadi 15,36 persen pada tahun 2012. Penetrasi telepon genggam telah meningkat secara tajam pada saat yang sama, dari 1,72 pelanggan menjadi 115,2 pelanggan telepon genggam per 100 penduduk dari tahun 2000 ke 2012. Pemerintah berencana untuk meningkatkan akses telepon ke ribuan desa di seluruh propinsi di Indonesia dan berusaha untuk meningkatkan penetrasi Internet ke kepulauan di daerah timur Indonesia. Indonesia memiliki lebih dari 250 penyedia jasa layanan Internet. Dua operator telekomunikasi terbesar adalah PT Telkom dan PT Indosat yang diswastakan (PDF) pada pertengahan 1990an setelah bertahun-tahun menjadi perusahaan pemerintah, meskipun demikian pemerintah masih memiliki saham di kedua perusahaan tersebut. Di saat perkembangan teknologi dan informasi komunikasi terus meningkat, begitu pula regulasi dalam bidang teknologi dan informasi menyebabkan perlu adanya suatu mekanisme guna mengatasi kejahatan dunia maya, dan sebab lainnya terkait dengan pengontrolan informasi. Para penyedia jasa Internet dan perusahaan telekomunikasi telah mengungkapkan keprihatinan mereka karena banyaknya ketidakjelasan dari peraturan perundang-undangan dan akibatnya membebani mereka.4

  • Seperti apa arsitektur dunia maya di Indonesia? Apa yang membedakannya dari negara lain?

  • Apa dampak ekonomi politik dan penerapan tata kelola Internet di Indonesia?

  • Bagaimana peraturan perundang-undangan mengenai tata kelola Internet diterapkan?

  • Apakah penyedia jasa Internet memiliki otonomi untuk menerapkan hukum dan peraturan perundang-undangan, dan pada prakteknya, apa saja yang mempengaruhi penerapan pengontrolan informasi di Indonesia? Bagaimana proses tersebut apabila dibandingkan dengan di negara-negara lain?

  • Apakah pemerintah Indonesia memiliki dan mengembangkan strategi keamanan dunia maya? Kebijakan apa saja yang dimasukkan dan apa pengaruhnya terhadap pengontrolan informasi? Bagaimana pembahasan topik-topik mengenai kejahatan dunia maya dan apa respon pemerintah, baik secara institusional maupun secara hukum?

  • Apakah pemerintah Indonesia memiliki kebijakan secara regional maupun internasional mengenai dunia maya?

Pengontrolan Konten

Istilah pengontrolan informasi termasuk pengontrolan yang ditujukan terhadap konten yang dapat di akses oleh penduduk termasuk informasi yang di posting secara online. Pengontrolan konten dapat berupa peraturan perundang-undangan yang membatasi kebebasan berpendapat di dunia maya atau di media lainnya, dan juga menggunakan cara-cara teknis untuk membatasi akses informasi — yang dikenal dengan istilah penapisan Internet (Internet filtering).

Sejak tahun 2003, Citizen Lab, sebagai salah satu pendiri OpenNet Initiative,5 telah melakukan penelitian mengenai filtering di 74 negara, dan menemukan bahwa 42 dari 74 negara tersebut melakukan filtering. Tipe konten yang harus melalui filtering berbeda di setiap negara, dan tergantung dari konteks politik, legal, sosial, dan budaya lokal. Kami menggunakan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu, termasuk penelitian secara teknis dari kebijakan dan praktek dari pensensoran Internet yang diwajibkan oleh pemerintah, melakukan riset di lapangan oleh para ahli di bidang regional dan di dalam negara tersebut, dan menganalisis kerangka hukum dan peraturan perundangan-undangan mengenai filtering. Gabungan penelitian yang berisi aspek secara teknis dengan analisis konteks politik, sosial dan hukum lokal sangat penting agar kami dapat mengerti bagaimana dan mengapa pengontrolan informasi diterapkan.6 Kami juga berusaha untuk mengetahui bagaimana pengontrolan secara teksis tersebut dilakukan, dan apabila mungkin, apa nama produk yang digunakan untuk melakukan filtering.

Penelitian yang dilakukan oleh OpenNet Initative pada tahun 2010 pada empat penyedia jasa Internet di Indonesia menemukan bahwa para ISP tersebut melakukan banyak filtering terhadap konten porno, yang dinyatakan ilegal menurut Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Penelitian juga menemukan bahwa filtering di berbagai ISP tidak sistematis atau konsisten: beberapa ISP memblokir lebih banyak situs dan mencakup lebih banyak jenis konten seperti website yang menyediakan layanan penganoniman (anonymizer) dan pemintasan situs (circumvention Web sites), dan situs-situs konten politik atau religius yang kontroversial. Pada tahun 2011, BlackBerry mulai mensensor konten pornografi di jaringan mereka di Indonesia atas permintaan pemerintah.

Analisis mengenai pengontrolan konten akan di pandu oleh pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

  • Seperti apakah pengontrolan konten yang diterapkan di Indonesia?

  • Bagaimana pengontrolan konten tersebut diterapkan atau dijalankan?

  • Apa yang dapat disimpulkan dari pengetesan jaringan untuk menilai aksesibilitas Internet dari segi ruang lingkup, skala dan karakter dari pengontrolan informasi di Indonesia?

  • Apa saja batasan-batasan dalam kebebasan berekspresi, baik online maupun offline, di Indonesia?

  • Langkah apa saja yang telah di tempuh oleh masyarakat sipil dalam menanggapi pembatasan tersebut?

  • Siapa saja pengguna Internet (netizen) yang telah ditahan dan karena apa?

Pengawasan dan Pengontrolan

Pengawasan adalah salah satu cara yang paling efektif, dan yang tidak terlalu terlihat secara kasat mata dari suatu pengontrolan informasi. Pemerintah dan perusahaan ikut serta dalam pengawasan karena berbagai macam alasan, contohnya adalah untuk melindungi masyarakat. Misalnya, pengawasan merupakan komponen penting dari respon pemerintah terhadap krisis kesehatan dan bencana alam, dan merupakan bagian penting dari pengaturan jaringan yang berskala besar dan dalam hal proses penegakan hukum. Namun, pengawasan juga dapat digunakan untuk mengawasi pihak-pihak yang tidak sependapat dengan pemerintah dan membahayakan privasi . Apabila pengawasan dilakukan tanpa adanya akuntabilitas, maka akan berakibat adanya penggunaan kewenangan pemerintah secara semena-mena. Pengawasan Internet dan media komunikasi lainnya merupakan satu industri yang tumbuh sangat pesat dengan adanya banyak perusahaan-perusahaan yang menyediakan berbagai produk dan servis untuk pengawasan, baik yang sifatnya pasif maupun aktif, kepada pemerintah di negara lain.

Riset yang dilakukan oleh Citizen Lab sebelumnya telah menemukan bahwa Pemerintah Indonesia telah menggunakan suatu teknologi, produk dan servis pengawasan . Contohnya, server command-and-control untuk produk malware komersial, FinFisher, ditemukan di beberapa ISP di Indonesia seperti PT Telkom, PT Matrixnet Global dan Biznet, dan juga alat- alat yang dapat digunakan untuk penapisan dan pengawasan yang di produksi oleh Blue Coat Systems, satu perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat. Kementrian Pertahanan Republik Indonesia telah menanda tangani kontrak senilai US$6,7 milyar dengan Gamma TSE untuk mengimport alat-alat untuk melakukan penyadapan, yang tidak dipublikasikan kepada masyarakat Indonesia, oleh Badan Intelejen Strategis (BAIS). Gamma TSE adalah bagian dari perusahaan Gamma Group, bagian dari Gamma Group International, yang membuat program FinFisher, yaitu produk yang dapat digunakan untuk melakukan “intersepsi yang legal” (“lawful interception”). BlackBerry juga telah mendapat banyak tekanan dari pemerintah untuk menempatkan infrastrukturnya di dalam negara Indonesia untuk mempermudah pengawasan para penggunanya, meski belum jelas sampai sekarang kerja sama seperti apa yang telah terjadi antara perusahaan tersebut dengan pemerintah Indonesia.

Blog post mengenai pengawasan dan pengontrolan akan menganalisa pertanyaan-pertanyaan berikut ini:

  • Pengawasan apa saja yang dilakukan oleh otoritas yang berwajib di Indonesia?

  • Seperti apa akuntabilitas dan siapa yang memastikan adanya akuntabilitas dari pengawasan tersebut?
  • Apa saja alat-alat, produk-produk, servis-servis, dsb., yang dipakai oleh pemerintah Indonesia untuk melakukan pengawasan? Apakah yang menentukan apa atau siapa yang menjadi target pengawasan tersebut?
  • Apakah ada pengamanan atau pengawasan khusus yang dilakukan dalam rangka IGF?
  • Pengawasan jenis apa, apabila ada, yang terjadi di lokasi IGF dan untuk apa?

Kontrol Saat IGF

Suatu pertemuan internasional yang besar dan penting seperti IGF selalu mendapat banyak perhatian dari masyarakat internasional dan mengakibatkan dampak politik, ekonomi dan sosial yang signifikan bagi tuan rumah. Pengontrolan informasi biasanya dilonggarkan pada saat terjadinya IGF — terutama di lokasi IGF itu sendiri. Pada saat konferens World Summit on the Information Society (WSIS) di kota Tunis tahun 2005, misalnya, akses Internet bebas diberikan di lokasi konferens, meski penapisan terus berlangsung di bagian negara lainnya.

Staf dari Citizen Lab dan partner kami lainnya telah berpartisipasi dalam setiap IGF sejak pertemuan pertama diadakan di kota Athena pada tahun 2006, dan juga pertemuan-pertemuan WSIS sebelumnya pada tahun 2003 dan 2005. Pada pertemuan WSIS tahun 2005 di kota Tunis, presentasi dari Nart Villeneuve, seorang peneliti dari Citizen Lab, mengenai penapisan Internet diganggu oleh otoritas setempat dan nyaris dibatalkan. Pada IGF tahun 2009 di Mesir, peluncuran buku OpenNet Initiative, sebuah proyek dari Citizen Lab, yang berjudul Access Controlled, dihalangi oleh para staf PBB karena adanya keluhan dari delegasi Cina mengenai situasi di Tibet dan sistem sensor Cina yang dikenal dengan nama “The Great Firewall of China”, keduanya disebutkan di dalam buku tersebut dan materi-materi OpenNet Intiative lainnya.

Informasi blog terakhir dalam seri ini akan membahas topik seputar IGF:

  • Apa saja kepentingan dari berbagai pemangku kepentingan di Indonesia (pemerintah, swasta, masyarakat sipil) selama menjadi tuan rumah IGF? Apa saja yang ingin dicapai oleh para pemangku kepentingan? Apakah ada perbedaan kepentingan di antara kepentingan-kepentingan tersebut? Bagaimana pemerintah Indonesia menilai betapa pentingnya IGF dibandingkan dengan forum internasional mengenai Internet lainnya seperti ICANN atau ITU, atau forum internasional yang non-Internet seperti APEC dan ASEAN?

  • Sejauh mana para pemangku kepentingan di Indonesia telah berhasil untuk mempengaruhi agenda dan hasil dari diskusi di IGF? Bagaimana persiapan mereka untuk mengadakan konferensi tersebut dan apa saja tantangan yang mereka hadapi?

  • Dengan berlangsungnya IGF di Indonesia, dampak apa yang dihasilkan oleh forum tersebut, apabila ada, terhadap pengontrolan informasi di Indonesia dan praktek sejenisnya?

  • Bagaimana aksesibilitas Internet di gedung pertemuan untuk IGF atau di area lainnya dimana para delegasi berkumpul, apabila dibandingkan dengan pengalaman pengguna Internet di Indonesia pada umumnya?

  • Bagaimana para pemangku kepentingan di Indonesia mengorganisir diri mereka untuk menjadi tuan rumah IGF?

  • Apa saja dinamika politik dari pertemuan IGF itu sendiri?
  • Apa saja proses-proses yang dilalui oleh pemangku kepentingan majemuk untuk menyusun agenda dan program acara IGF? Pemangku kepentingan mana saja yang terlibat, dalam peran apa, dan apa kontribusi mereka?
  • Apa hasil nyata dari Indonesia menjadi tuan rumah IGF?

Footnotes

1 For more background on “just-in-time” content controls, see Masashi Crete-Nishihata and Jillian C. York, “Egypt’s Internet Blackout: Extreme Example of Just-in-time Blocking,” OpenNet Initiative, January 28, 2011, https://opennet.net/blog/2011/01/egypt%E2%80%99s-internet-blackout-extreme-example-just-time-blocking;
and Ronald Deibert and Rafal Rohozinski, “Good for Liberty, Bad for Security? Global Civil Society and the Securitization of the Internet,” in Access Denied: The Practice and Policy of Global Internet Filtering, eds. Ronald Deibert, John Palfrey, Rafal Rohozinski, and Jonathan Zittrain (Cambridge, Massachusetts: MIT Press, 2008), http://access.opennet.net/wp-content/uploads/2011/12/accessdenied-chapter-6.pdf.
2 Russia’s Surveillance State, a joint project between Citizen Lab, Agentura.Ru and Privacy International, has documented the growth of surveillance measures in preparation for the 2014 Sochi Winter Olympics. See Irina Borogan and Andrei Soldatov, “Surveillance at the Sochi Olympics 2014,” Agentura.ru, October 2013, http://www.agentura.ru/english/projects/Project_ID/sochi.
3 The Cyber Stewards program Cyber Stewards is a global network of organizations and individuals that use evidenced-based research for policy advocacy to ensure and promote a secure and open Internet. We are building bridges between researchers and activists in the global North and South to form a space of peers for collaboration and organization at local, regional, and international levels.
4 Mariel Grazella, “ICT Businesses to Tackle Policy at Global Internet Forum,” The Jakata Post, March 02, 2013, available at http://www.thejakartapost.com/news/2013/03/02/ict-businesses-tackle-policy-global-forum-bali.html.
5 The OpenNet Initiative is a collaborative partnership of three institutions: the Citizen Lab at the Munk School of Global Affairs, University of Toronto; the Berkman Center for Internet & Society at Harvard University; and the SecDev Group (Ottawa).
6 See Masashi Crete-Nishihata, Ronald J. Deibert, and Adam Senft, “Not by Technical Means Alone: The Multidisciplinary Challenge of Studying Information Controls,” IEEE Internet Computing 17.3 (2013): 34-41.