Islands of Control, Islands of Resistance: Monitoring the 2013 Indonesian IGF

Download the full report here.

Read the individual sections here:

Latar Belakang

Indonesia, negara kepulauan dengan populasi lebih dari 240 juta penduduk, terlibat dalam berbagai diskusi regional dan internasional mengenai mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam pembangunan nasional. Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara, langkah-langkah yang diambil oleh Indonesia menuju perkembangan dan pengaturan TIK akan memiliki pengaruh besar terhadap usaha-usaha yang dilakukan oleh negara-negara lain di kawasan ini. Informasi ini akan memetakan infrastruktur dan tata kelola dari TIK di Indonesia, dan membahas berbagai tren dan tantangan terhadap kebebasan berekspresi dan akses ke informasi, yang di dasari oleh mekanisme hak-hak asasi manusia yang bersifat universal.

Tingkat penetrasi Internet di Indonesia telah meningkat sejak awal abad ini, dari kurang dari satu persen pada tahun 2000 hingga lebih dari 15 persen tahun 2011 (atau sekitar 45 juta penduduk). Pada akhir tahun 2012, angka tersebut telah meningkat menjadi 10 juta lebih, atau sama dengan peningkatan dari sekitar 800.000 pengguna Internet setiap bulannya. Diperkirakan bahwa akan ada 80 juta pengguna Internet di Indonesia pada akhir tahun 2013. Nilai dari Internet di Indonesia, sebagaimana di hitung dari nilai yang akan di berikan ke dalam produk domestik bruto (Gross Domestic Product (GDP)), menurut Deloitte Access Economics, adalah 1,6 persen dari GDP, lebih besar dari ekspor gas cair natural (Liquefied Natural Gas (LNG)), dan berkempang pesat. Deloitte Acces Economics memperkirakan bahwa akan berkembang menjadi tiga kali dari perkembangan ekonomi, dari 1,6 persen GDP pada tahun 2010 menjadi 2,5 persen GDP selama lima tahun ke depan.

Tingkat penetrasi telepon seluler juga telah meningkat secara  tajam  dan  pada waktu yang sama terjadi peningkatan jumlah pelanggan telepon seluler dari 1,72 menjadi 115,2   per 100 penduduk (Lihat Figur 1). Laporan kondisi pasar tahun 2011 menemukan bahwa 48 persen pelanggan menggunakan telepon seluler untuk mengakses Internet. Jumlah langganan telepon genggam di Indonesia mencapai 290 juta pada tahun 2012 karena banyak orang menggunakan dua telepon atau lebih. Pemerintah Indonesia sedang berusaha untuk meningkatkan tingkat penetrasi layanan mobile broadband menjadi 22 persen di tahun 2013, lebih tinggi dari target 8 persen untuk fixed broadband.

subscriptions
Figur 1. Penetrasi Internet di Indonesia dan pelanggan telepon genggam per 100 penduduk

Indonesia memiliki lebih dari 300 penyedia jasa Internet  (Internet Service Provider (ISP)), 35 dari mereka memiliki infrastruktur jaringan sendiri. PT Telkom adalah perusahaan telekomunikasi terbesar di Indonesia, dengan 8,6 juta pelanggan fixed wire-line, 14,2 juta pelanggan fixed wireless   dan 107 juta pelanggan seluler, terhitung bulan Desember 2012.  PT Indosat adalah operator seluler kedua terbesar di Indonesia, dengan lebih dari 55 juta pelanggan seluler. PT Telkom dan PT Indosat keduanya  merupakan Perusahaan BUMN yan diprivatisasi  sebagian pada tahun 1990an. Pemerintah memiliki saham di kedua perusahaan, termasuk lebih dari 50 persen kepemilikan pada PT Telkom.

Menarik untuk diperhatikan bahwa, berbeda dengan maraknya perkembangan ISP, pertumbuhan  media industri di Indonesia telah menghasilkan suatu oligopoli media dan konsentrasi kepemilikan media di tangan beberapa perusahaan. 12 Perusahaan konglomerat besar mengontrol hampir semua kanal media di Indonesia, termasuk penyiaran, media cetak, dan media online. Misalnya, Berita Satu Media Holding, sebuah perusahaan media baru di bawah Lippo Group, telah mendirikan sebuah Internet-Protocol Television (IPTV) yaitu BeritasatuTV, kanal media online beritasatu.com, dan juga memiliki beberapa surat kabar dan majalah. Lalu, sebagian dari grup media ini dimiliki oleh beberapa individu yang aktif dalam kancah politik  contohnya  Aburizal Bakrie adalah ketua umum Golkar, salah satu partai politik terbesar di Indonesia dan pemilik dari Visi Media Asia (atau dikenal dengan nama VIVA), yang memiliki stasiun televisi seperti ANTV, tvOne, Vivasky dan Sport One, dan juga situs berita online VIVA.co.id. Surya Paloh, pendiri partai politik baru, Nasional Demokrat (NasDem), adalah pemilik dari Media Group, yang mengoperasikan stasiun televisi MetroTV dan menerbitkan surat kabar Media Indonesia, Lampung Post, dan Borneonews, dan tabloid, Prioritas. Monopoli media dimungkinkan oleh Undang-undang Penyiaran No. 32 tahun  2002, yang menetapkan batasan-batasan yang tidak jelas mengenai kepemilikan penyiaran swasta, dan seperti yang akan dijelaskan di bawah ini, DPR dan Pemerintah sedang menyusun RUU Penyiaran yang baru untuk menggantikan UU 32 tahun 2002. Mendekati Pemilu 2014, ada kekhawatiran bahwa konglomerasi media ini akan mempengaruhi kebebasan pers.

Kementrian Komunikasi dan Informatika, melihat betapa penting adanya Internet yang berkecepatan tinggi untuk pembangunan ekonomi dan sosial, meluncurkan program dengan nama “Indonesia Connected” untuk meningkatkan konektivitas dari daerah perbatasan dan pedalaman. Perkembangan ini di implementasikan melalui jaringan kabel fiber-optic “Palapa Ring” di seluruh Indonesia. Kementrian Kominfo memperkirakan bahwa pembangunan dari jaringan tulang punggung  (backbone) telah mencapai 80 persen, meliputi Nangroe Aceh Darussalam (Sumatera) Ring, Jawa-Kalimantan-Sulawesi-Denpasar-Mataram Ring dan Mataram-Kupang Ring. Beberapa perusahaan terlibat  dalam proyek ini, termasuk PT Telkom dan PT Indosat. Baru-baru ini, Grup Lippo mengumumkan bahwa perusahaan tersebut bekerja sama dengan JSAT, perusahaan telekomunikasi terbesar di Jepang, untuk meningkatkan konektivitas Internet di Papua, melalui pemasangan  VSAT (very small aperture terminal). Jarak antara Manado (Sulawesi) sampai Papua (5.194 kilometer) akan memiliki jaringan  fiber-optic setelah proyek Palapa Ring selesai.

Proyek Palapa Ring memiliki 35.280 kilometer kabel bawah laut dan banyak dari kabel-kabel tersebut dihubungkan ke Singapura (Lihat Figur 2), yang berada di persimpangan jalan antara Asia Pasifik dan Eropa dan merupakan pusat untuk banyak kabel bawah laut yang digunakan untuk infrastruktur Internet dan telekomunikasi. Salah satu organisasi yang merupakan mitra dari Citizen Lab, Privacy International, telah melakukan riset mengenai penyedia teknologi penyadapan, termasuk teknologi dan sistem penyadapan untuk kabel bawah laut. Menurut surat kabar Sydney Morning Herald (SMH), informasi yang diberikan oleh Edward Snowden, pembocor rahasia pemantauan intelijen Amerika Serikat, menunjukkan bahwa  Government Communications Headquarters (GCHQ) dari pemerintah Inggris mengumpulkan data dari dan menuju Inggris dan Eropa Timur melalui salah satu kabel bawah laut milik Indonesia, SEA-ME-WE-3, yang merupakan salah satu kabel optik bawah laut terpanjang di dunia dengan titik pendaratan di Medan dan Jakarta, Indonesia. Sumber intelijen Australia juga memberi tahu Fairfax Media, yang memiliki SMH, bahwa intelijen Singapura bekerja sama dengan Australia dalam mengakses dan membagi komunikasi yang dibawa oleh kabel tersebut.

 

Submarine_Cable_Map_correct

Figur 2. Kabel bawah laut yang saat ini aktif dan melalui Indonesia (internasional dan domestik)
(Sumber dan versi interaktif: http://submarinecablemap.com/#/country/indonesia)

Indonesia tidak memiliki sistem infrastruktur Internet yang tersentralisasi dan memliki beberapa sambungan ke jaringan internasional. Indonesia Internet Exchange (IIX), merupakan Internet exchange point (IXP) pertama di Indonesia, dan di operasikan oleh Asosiasi Penyedia Jasa Internet Indonesia (APJII) (Lihat Figur 3). IXP yang kedua di Indonesia, OpenIXP, di jalankan oleh Indonesia Data Center (IDC). Pemerintah Indonesia mengharuskan agar para penyedia jasa Internet harus mendaftarkan IP Transit mereka dari Network Access Provider ke upstream global. Para IXP, oleh karena itu, hanya melakukan fungsi lokal/domestik di antara para penyedia jasa Internet di Indonesia.1

IXP
Figur 3. Skema dari industri Internet di Indonesia menurut IIX

Figur 4 dibawah ini menunjukkan berbagai Autonomous Systems (ASe) di Indonesia dan luar negeri: jaringan yang berada di bawah pengaturan badan atau kewenangan tertentu. Lapisan tengah dari titik-titik dalam diagram (dengan nama dan nomor) adalah jaringan Indonesia yang memiliki sambungan upstream ke jaringan asing. Banyaknya jaringan dan jumlah sambungan ke jaringan internasional tersebut menandakan kurangnya sentralisasi dan, pada tahun 2012, Renesys, penyedia informasi intelijen mengenai Internet, mengatakan bahwa Indonesia “kemungkinan sangat resisten terhadap putusnya sambungan Internet.”

ASNsFigur 4. Konektivitas internasional diantara ASN di Indonesia

Meski pertumbuhan terjadi secara cepat dan banyaknya penyedia jasa Internet baik kecil maupun besar, perkembangan TIK di Indonesia dapat dikategorikan   cukup lambat dibandingkan negara lainnya di Asia Tenggara. Misalnya, penetrasi Internet di Malaysia mencapai hampir 66 persen pada tahun 2012, sementara jumlah persentasi individual yang menggunakan Internet di Singapura adalah 74 persen di tahun yang sama. LIRNEasia, sebuah organisasi riset regional yang meneliti kebijakan dan pengaturan TIK di Asia Pasifik, menyatakan bahwa perbedaan perkembangan ini terjadi karena adanya instabilitas politik dan lambatnya pertumbuhan ekonomi saat krisis ekonomi Asia pada akhir tahun 1990an. LIRNEasia juga menyebutkan bahwa terbatasnya penggunaan bahasa Inggris di Indonesia, kurangnya akses terhadap infrastruktur telekomunikasi di daerah pedesaan, tingginya biaya konektivitas kepada jaringan tulang punggung internasional, dan kurangnya perhatian pemerintah menjadi faktor-faktor yang menghasilkan rendahnya penggunaan TIK di Indonesia. Ditambah lagi, menurut Indonesian Internet Governance Forum (ID-IGF), rendahnya bandwidth dan penetrasi komputer juga merupakan tantangan dalam meningkatkan penetrasi Internet di Indonesia.

Badan Pengatur

Tugas-tugas kementrian yang menyangkut regulasi TIK berada di bawah naungan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Kementrian ini mendefinisikan tugasnya sebagai  badan yang  “memformulasikan kebijakan nasional,  menerapkan  kebijakan  yaitu  kebijakan teknis dalam bidang komunikasi dan informatika, termasuk pos, telekomunikasi, penyiaran, teknologi informasi dan komunikasi, layanan multimedia dan penyebaran informasi.” Sejak tahun 2005,  Direktorat Jendral Pos dan Telekomunikasi berada di dalam naungan Kominfo. DJPT yang memiliki tiga fungsi menurut situs mereka:

“Selama ini, Ditjen Postel 3 (tiga) fungsi pokok di bidang penyelenggaraan pos dan telekomunikasi nasional,yaitu: pengaturan, pengawasan dan pengendalian. Fungsi pengaturan meliputi kegiatan yang bersifat umum dan teknis operasional yang antara lain diimplementasikan dalam bentuk pengaturan perizinan dan persyaratan dalam penyelenggaraan pos dan telekomunikasi. Fungsi pengawasan merupakan suatu fungsi dari Ditjen Postel untuk memantau dan mengawasi seluruh kegiatan penyelenggaraan pos dan telekomunikasi agar tetap berada dalam koridor peraturan perundang- undangan yang berlaku. Sedangkan fungsi pengendalian merupakan fungsi yang bertujuan memberi pengarahan dan bimbingan terhadap penyelenggaraan pos & telekomunikasi, termasuk juga agar penegakan hukum (law enforcement) di bidang penyelenggaraan pos dan telekomunikasi dapat dilaksanakan dengan baik.”

Badan pengawasan penting lainnya adalah Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Tanggung jawab BRTI adalah untuk menerbitkan ijin dan menyelesaikan perselisihan  dan memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dalam hal kebijakan telekomunikasi. Tetapi, tanggung jawab tersebut dibandingkan dengan DJPT  tidak jelas di definisikan [PDF]. Meski BRTI ditujukan agar menjadi  badan pengatur independen, namun badan tersebut telah di kritik karena tidak independen akibat di ketuai oleh pegawai DJPT, yang merupakan bagian dari Kominfo.

Hukum dan Peraturan Perundang-undangan

Undang Undang Dasar (UUD) 1945

UUD 1945 telah diamandemen empat kali antara 1999 dan 2002. Sebelum  diamandemen  UUD 1945 tidak secara eksplisit menegaskan hak-hak asasi manusia. Contohnya, Pasal 27 (1 and 2) and 28 hanya mengakui adanya prinsip-prinsip of kesetaraan dalam hukum, kebebasan berserikat dan berkumpul, dan kebebasan mengeluarkan pendapat. Setelah amandemen ditetapkan, maka UUD 1945 memiliki beberapa pasal yang secara eksplisit menegaskan  penghormatan atas hak-hak asasi manusia  dan di jamin oleh negara. 10 Pasal telah dimasukkan ke dalam UUD 1945 (e.g. articles 28A, 28B, 28C, 28D, 28E, 28F, 28G, 28H, 28I and 28J (Persandingan UUD 1945, 2002: 49-57), membuktikan bahwa Indonesia telah menggunakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).

TAP MPR No. XVII/MPR/1998 and UU No. 39 of 1999 tentang Hak Asasi Manusia

TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia melindungi  kebebasan berekspresi sebagai berikut:

– Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani (Pasal 14);

– Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat (Pasal 19);

– Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya (Article 20);

– Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia (Article 21); and

– Hak warga negara untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi dijamin dan dilindungi  (Article 42).

Lalu, Indonesia mengesahkan UU No. 39 of 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pembukaan UU tersebut menyatakan “bahwa bangsa Indonesia sebagai anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa mengemban tanggung jawab moral dan hukum untuk menjunjung tinggi dan melaksanakan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia yang ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta berbagai instrumen internasional lainnya mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia.” UU tersebut juga menyatakan “Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum”. (Article 25).

Agama

Faktor penting lainnya yang mempengaruhi pengaturan kebebasan berekspresi di Indonesia adalah agama. Sebagai negara dengan populasi mayoritas Muslim terbesar, suara-suara dari mereka yang percaya akan  agama Islam yang lebih konservatif telah mempengaruhi diskusi, baik di ranah sosial maupun politik, dan menghasilkan peraturan perundang-undangan yang ketat yang membatasi apa yang dianggap sebagai konten atau pendapat yang pantas.

Ditetapkannya undang-undang dengan hukuman yang keras, seperti di jabarkan dibawah ini, dan tuntutan agar perusahaan telekomunikasi seperti BlackBerry dan para penyedia jasa Internet untuk menapis konten pornografi adalah pertanda bahwa semakin kuatnya desakan dari grup-grup yang konservatif, dan kurangnya penghargaan terhadap perlindungan hak-hak penduduk akan kebebasan berpendapat dan kebebasan untuk menerima informasi, meskipun hak-hak tersebut telah dicantumkan dalam UUD 1945.

Kebebasan pers, proses politik yang dinamis, dan masyarakat sipil yang aktif telah dan akan terus meningkatkan tekanan kepada pemerintah agar menghormati hak-hak asasi, namun diperlukan adanya dukungan internasional untuk memastikan agar pemerintah Indonesia bekerja secara transparan dan akuntabel.

UU No. 36 of 1999 tentang Telekomunikasi

Layanan telekomunikasi di Indonesia dulunya disediakan oleh [PDF] beberapa badan usaha milik negara (BUMN). Namun, telah ada perubahan kebijakan yang berusaha untuk menciptakan kerangka tata peraturan yang mendukung adanya kompetisi  dan mempercepat pembangunan fasilitas dan infrastruktur telekomunikasi. Diberlakukannya UU No. 36 tentang Telekomunikasi 1999  [PDF], yang menggantikan UU No 3 of 1989 tentang Telekomunikasi, menyediakan kerangka untuk terjadinya deregulasi yang besar dari sektor telekomunikasi di Indonesia. Langkah-langkah deregulasi tersebut tercantum dalam komitmen [PDF] di dalam WTO Agreement on Basic Telecommunications yang mulai berlaku pada bulan Februari 1998 dan berarti bahwa negara Indonesia berkomitmen untuk meninjau kebijakan telekomunikasi saat itu.

UU ini tidak mengatur e-commerce atau pengiriman atau penerimaan informasi secara spesifik melalui Internet. Namun, dari definisi telekomunikasi, kita dapat melihat bahwa transmisi informasi melalui Internet dicakup oleh UU tersebut, meski tidak disebut secara eksplisit.  Definisi dari Telekomunikasi, menurut Pasal 1 (1):“Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya;” Lalu, Pasal 4 (1) menyebutkan bahwa “Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah” dan oleh karena itu, perkembangan Internet bisa di katakan berada dalam naungan Pemerintah.

RUU Konvergensi Telematika

Untuk menghadapi adanya konvergensi antara media tradisional dan media baru, Menkominfo membuat RUU Konvergensi Telematika, yang di usulkan oleh pemerintah sebagai UU yang akan menggantikan UU Telekomunikasi, Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Penyiaran secara tergabung dan akan mengatur telekomunikasi dan TIK di Indonesia.

Telematika di definisikan secara luas sebagai aplikasi apa saja yang menggunakan Internet untuk disampaikan (misalnya suara, gambar, data, layanan berbasis konten, e-commerce, dan layanan lainnya yang disediakan melalui aplikasi). Telematics is defined broadly as any kind of application which uses the Internet to transmit (e.g. voice, images, data, content based services, e-commerce, as well as other services provided through applications). Bahwa Pemerintah membuat suatu peraturan perundang-undangan dengan definisi yang sangat luas menyebabkan kekhawatiran bahwa peraturan tersebut akan digunakan untuk mengontrol konten dan informasi online.  Setelah dikritik oleh masyarakat  banyak, Kominfo memutuskan agar RUU Konvergensi Telematika ditinjau ulang. Lalu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga telah menyetujui revisi RUU Penyiaran. Apabila draft ini kemudian ditetapkan menjadi undang-undang, maka RUU Konvergensi Telematika tidak lagi diperlukan.

UU No. 11 of 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

UU No. 11 of 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) disahkan pada tanggal 21 April 2008, dan merupakan cyber law pertama di Indonesia dan instrumen perundang-undangan utama yang dipakai untuk mengatur konten online.

Bab VII dari UU ITE menyebutkan semua hal-hal yang dilarang, termasuk dengan sengaja dan tanpa hak  mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memiliki:

– Melanggar kesusilaan (Article 27(1));

– Perjudian (Article 27(2));

– Penghinaan atau pencemaran nama baik (Article 27(3)); and

– Pemerasan dan/atau pengancaman (Article 27(4)).

Pada tahun 2013, Kominfo menyatakan bahwa mereka akan memprioritaskan untuk merevisi  UU ITE. Terutama yang  menjadi perhatian adalah Pasal 27 (2) mengenai pencemaran nama baik. Gatot S. Dewa Broto selaku  Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo, menyatakan bahwa hukuman pidana selama 6 tahun dengan denda Rp 1 miliar  dinilai oleh banyak kalangan terlalu berat, karena hukuman tersebut lebih berat dari yang tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang menyatakan bahwa hukuman adalah sembilan bulan penjara. Informasi yang kami buat mengenai pengontrolan konten menjelaskan dengan lebih detail bagaimana UU ini, yang digunakan bersama dengan UU lainnya, seperti UU  No. 44 of 2008 tentang Pornografi (UU Anti-Pornografi), KUHP Pasal 207-208, 310-21, dan 335 tentang pencemaran nama baik, dan beberapa  UU lainnya yang melarang penodaan agama, termasuk UU No. 1/PNPS/1965 (Penetapan Presiden), digunakan untuk mengatur konten.

UU ITE juga tadinya mengandung pasal mengenai intersepsi dan penyadapan, Pasal 31 (4), yang mengamanatkan Pemerintah untuk mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang hal itu. Tetapi setelah adanya judicial review yang di ajukan oleh  Anggara, Supriyadi Widodo Eddyono, dan Wahyudi Djafar dari ELSAM, Mahkamah Konstitusi  dalam putusannya telah menganulir Pasal 31 (4) karena adanya kontradiksi dengan Pasal 28G (1), 28J (2) dari UUD 1945. Kemudian, karena penyadapan memberikan pembatasan pada hak privasi individu, maka penyadapan harus diatur dengan Undang Undang dan bukan hanya dengan Peraturan Pemerintah.

RUU Tata Cara Intersepsi

Di Indonesia, ada setidaknya 12 peraturan perundang-undangan, dua peraturan pemerintah dan dua peraturan mentri yang menjelaskan mekanisme penyadapan oleh badan negara atas nama penegakan hukum. Pada bulan January 2013, Gatot S. Dewa Broto, Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo, menyatakan bahwa RUU Tata Cara Intersepsi sedang dibuat sebagai inisiatif Pemerintah kumulatif terbuka.  Informasi yang kami  buat mengenai pengawasan Internet (Internet surveillance) menjelaskan secara lebih lengkap mengenai masalah-masalah hukum dan operasional tentang penyadapan di Indonesia.

RUU Tindak Pidana Teknologi Informatika

DPR telah memulai menyusun RUU Tindak Pidana Teknologi Informatika (TIPITI) sebagai tanggapan akan  meningkatnya jumlah kasus cybercrime di Indonesia. Pada saat pertama kali diumumkan kepada publik, RUU tersebut dianggap mengancam kebebasan berekspresi karena aturan-aturan di dalamnya dianggap terlalu luas dan menjatuhkan hukuman yang lebih berat daripada yang terkandung di dalam UU ITE yang kontroversial (e.g. pidana 30 tahun penjara dan denda Rp 10 miliar menurut draft tahun 2009). RUU tersebut telah diprioritaskan pada Program Legislasi Nasional tahun 2010, tetapi RUU tersebut baru diselesaikan pada tahun 2012 akibat adanya tekanan dari Kominfo. Sejak bulan Maret 2012, RUU tersebut masih menunggu untuk disahkan.

Inisiatif Keamanan Cyber dan Regional

Sebagaimana banyak negara lainnya, Indonesia melihat bahwa cybersecurity telah menjadi prioritas utama, dan strategy cyber security sedang dikembangkan oleh Pemerintah. Indonesia telah menjadi Anggota Penuh dari APCERT (Asia Pacific Computer Emergency Response Team) dan FIRST (Forum for Incident Response and Security Team) dan Anggota Penuh dan Pendiri dari OIC-CERT (Organization of the Islamic Conference-Computer Emergency Response Team).  Sejak 2010, RUU mengenai cybercrime dan RUU mengenai ratifikasi Konvensi Uni Eropa mengenai Cybercrime telah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional sebagai prioritas untuk dibahas. Apapun komponen dari strategi cybersecurity tersebut, pastinya akan mempengaruhi karakter dari pengontrolan informasi di Indonesia. Strategi tersebut akan mencerminkan perbedaan kepentingan diantara berbagai kepentingan  domestik dengan kepentingan tertentu dan para pemangku kepentingan, dan juga pengaruh  regional dan internasional,  dan partisipasi Indonesia dalam forum regional dan forum-forum lainnya. Terutama, organisasi regional, Association of Southeast Asian Nations (ASEAN), dimana Indonesia merupakan anggota pendiri, akan menjadi sumber utama pengaruh dan sumber norma-norma dan praktek-prakteknya. Pada bulan September 2013, ASEAN mengumumkan bahwa perjanjian perihal cybersecurity telah tercapai antara negara-negara anggota, dimana Indonesia dan anggota lainnya akan secara bersama mengembangkan mekanisme untuk melawan cyber attack, mengkoordinasi pelatihan, dan berbagi informasi mengenai ancaman cyber attack —  yang sudah dipraktekkan oleh beberapa anggota CERT di Asia Tenggara.  Bekerja sama dengan para kolega kami di Asia Tenggara, kami akan terus memonitor perkembangan ini, terutama dengan akan adanya ASEAN Economic Community pada tahun 2015, dan kami akan menerbitkan sejumlah laporan mengenai inisiatif cybersecurity di Asia.

Kesimpulan

Pengontrolan informasi di Indonesia tidak dapat dimengerti tanpa mempertimbangkan konteks sosial, politik, dan legal, dan juga lingkungan TIK dimana mereka berada. Sifat dan karakter dari pengontrolan informasi tergantung kepada struktur pasar dari para penyedia jasa Internet, perusahaan telekomunikasi, hubungan di antara  berbagai  para pemangku kepentingan, terutama masyarakat sipil yang beragam yang secara  aktif  berpolitik, dan struktur hukum dan kebijakan yang membingkai ini semua. Dengan latar belakang ini, dalam dua informasi yang terkait,  kami  akan menjelaskan mengenai riset yang kami lakukan tentang pengontrolan konten dan pengawasan (surveillance) di Indonesia saat menghadiri forum IGF 2013.

Footnotes:

1 PowerPoint Presentation by Harijanto Pribadi, Department Head of IIX APJII, https://citizenlab.ca/wp-content/uploads/2013/10/IIX-APJII2012-APNIC34-Final.pptx
2 Also known as the Ministry of Communication and Information Technology (Kominfo).
3 Totok Sarsito, “The Indonesian Constitution: Why it was amended,” Journal of International Studies, 3 (2007), http://www.myjurnal.my/public/issue-view.php?id=2125&journal_id=217
4 Kikue Hamayotsu, “The Limits of Civil Society in Democratic Indonesia: Media Freedom and Religious Intolerance”, Journal of Contemporary Asia, 2013, http://dx.doi.org/10.1080/00472336.2013.780471
5 Article 1 (1) of Law No. 36/1999, http://dittel.kominfo.go.id/wp-content/uploads/2013/06/36-TAHUN-1999.pdf
6 Article 4 (1) of Law No. 36/1999, http://dittel.kominfo.go.id/wp-content/uploads/2013/06/36-TAHUN-1999.pdf
7 For more information on Criminal Defamation Law, please see Human Rights Watch’s “Turning Critics into Criminals: The human rights consequences of Criminal Defamation Law in Indonesia.” http://www.hrw.org/sites/default/files/reports/indonesia0510webwcover.pdf